JURNAL HARIANKOTA – Polri menegaskan tidak ada rekayasa dalam proses autopsi jenazah Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat atau Brigadir J, yang tewas di rumah dinas Irjen Pol Ferdy Sambo, Jalan Duren Tiga, Jakarta Selatan.
Mengingat kasus ini telah menjadi sorotan publik dan mendapat perhatian Presiden Joko Widodo, hasil autopsi dijanjikan bakal dibeberkan dalam waktu dekat.
Hal itu disampaikan oleh Kadiv Humas Polri Irjen Pol Dedi Prasetyo beberapa saat setelah Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo mengumumkan penetapan Ferdy Sambo sebagai tersangka pembunuhan Brigadir J, pada Selasa (9/8/2020).
Umumkan Irjen Ferdy Sambo Tersangka Kasus Penembakan Brigadir J, Kapolri Berkomitmen Jaga Marwah
“Tidak ada rekayasa autopsi,” tegas Dedi Prasetyo seperti dikutip dari NTMC Polri, Kamis (11/8/2022). Autopsi ulang jenazah Brigadir J telah rampung dilakukan pada, 27 Juli 2022. Hanya saja, hasilnya baru keluar sekira 4-8 minggu setelah autopsi dilakukan.
Dedi menyebut hasil autopsi ulang itu bakal dibeberkan dalam waktu dekat oleh Perhimpunan Dokter Forensik Indonesia (PDFI). “Nanti dari PDFI dalam waktu dekat akan mengumumkan hasil dari autopsi yang kedua atau telah kami laksanakan ekshumasi yang kemarin,” jelasnya.
Jenazah Brigadir J sebelumnya diautopsi ulang di RSUD Sungai Bahar, Jambi. Autopsi ulang itu dilakukan dokter forensik independen. Permintaan autopsi ulang ini disampaikan pihak keluarga melalui kuasa hukumnya, lantaran menilai ada kejanggalan dalam tewasnya Brigadir J.
Dalam kasus ini juga, Polri telah menetapkan empat orang sebagai tersangka. Mereka adalah Bharada E alias Richard Eliezer, Bripka RR alias Ricky Rizal, KM alias Kuwat serta Irjen Pol Ferdy Sambo.
Ferdy Sambo disebut telah memerintah Bharada E untuk melakukan penembakan terhadap Brigadir J. Sambo juga disebutkan telak membuat skenario peristiwa penembakan itu seolah-olah terjadi baku tembak.
Sementara, tersangka Bripka Ricky dan Kuwat turut serta menyaksikan dan membantu peristiwa penembakan tersebut. Keempat tersangka disangkakan Pasal 340 Subsider Pasal 338 Jo Pasal 55 dan 56 KUHP dengan ancaman maksimal hukuman mati, penjara seumur hidup, atau penjara selama-lamanya 20 tahun.***