JURNAL HARIANKOTA, MALANG – Hukum internasional saat ini masih belum layak untuk menegakkan hak perempuan terhadap pelanggaran-pelanggran. Hal ini disampaikan oleh dosen University of Kebangsaan Malaysia Dr. Muhammad Helmi Md. Said pada acara seminar internasional di Universitas Muhammadiyah Malang (UMM).
Seminar ini dilaksanakan secara offline pada 17 Desember 2022 dengan mengkaji tema hak asasi internasional dan dinamikanya. Lebih lanjut, Helmi menjelaskan bahwa usaha untuk memasukkan penanganan kekerasan rumah tangga di bawah hukum internasional telah dilakukan selama beberapa dekade belakangan.
Utamanya untuk melindungi hak perempuan. Banyak aktivis yang turut memperjuangkan hal tersebut, bahkan di berbagai belahan dunia. Harapannnya, dengan adanya hukum yang mengatur, kekerasan terhadap perempuan bisa dicegah dan bisa memberikan hukum bagi pelaku.
Pakar Hukum UMM Bongkar Kelemahan Sistem Pertanahan Indonesia VS Malaysia
“Ada beberapa hak perempuan yang terkandung dalam hukum internasional. Hak pertama adalah memperoleh martabat sebagai manusia. Kedua ada hak untuk hidup, bebas, dan aman. Selanjutnya adalah hak untuk mendapat kesetaraan dan terhindar dari hal diskriminatif.
Keempat adalah akses yang adil dan setara untuk memperoleh perlindungan hukum. Kelima adalah hak dalam pernikahan, memperoleh kebangsaan, pelatihan, kesehatan, dan reproduksi. Terakhir adalah hak dalam kesejahteraan ekonomi dan sosial,” ujar dosen spesialis private international law itu.
Dalam menjalankan peranan untuk melindungi hak perempuan, Helmi mengatakan bahwa negara memiliki beberapa kewajiban di Undang-Undang (UU) internasional.
Program Vokasi UMM, Bawa Alumni Sukses Meniti Karir di Negeri Sakura
Kewajiban tersebut meliputi pelarangan tindakan kekerasan privat, pelarangan diskriminasi, penghapusan adat, tradisi, atau agama yang menumbuhkan kekerasan terhadap perempuan.
Pun dengan menjaga keamanan dan kesehatan kerja untuk perempuan. Sayangnya, hal itu masih terkendala oleh anggapan bahwa hak perempuan merupakan masalah pribadi di luar perlindungan negara.
Namun, Helmi menjelaskan bahwa pemerinta Malaysia telah menyetujui untuk memperkuat The Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination against Women (CEDAW) tahun 1995. Terbaru, dilakukan pembaharuan pada pasal 16 (2) tentang pernikahan di bawah umur.
Sambut Tahun Baru, Ini Tips Dosen UMM buat Amankan Keuanganmu di 2023