SOLO, JURNAL HARIANKOTA – Hastag atau tagar #KaburAjaDulu menjadi viral di media sosial, terutama di platform X (sebelumnya Twitter), sejak Desember 2024.
Tagar tersebut menjadi ekspresi akan akumulasi kegelisahan dari publik terkait kondisi negara sehingga ada yang memilih pergi keluar negeri untuk melanjutkan hidup.
Kaprodi Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn) Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS), Wibowo Heru Prasetiyo, memandang bahwa kegelisahan publik muncul karena adanya kesenjangan antara harapan dengan realita.
“Kita warga negara punya harapan negara ini seperti apa. Harapan itu apa yang ingin kita berikan dan apa yang selanjutnya kita dapatkan,” terang Heru, Senin (17/2/2025).
Selain itu, Heru berpendapat bahwa munculnya tagar tersebut juga karena kegelisahan dari publik terhadap masa depan mereka dengan kondisi di Indonesia yang serba tidak pasti. Sedangkan secara personal, orang-orang berharap apa yang sudah diberikan itu ada timbal balik dari negara secara layak.
“Kita kan bayar pajak tapi kenapa dari pajak yang kita bayarkan itu kembali kepada kita tidak sesuai dengan harapan kita?” tanyanya.
Menurutnya, Indonesia yang digaungkan sebagai negara kaya raya dan menjadi tujuan dari para investor tidak mampu memenuhi harapan itu. Banyak lowongan pekerjaan yang sebagian besar dibatasi oleh umur, gelar, serta pengalaman yang dinilai Heru merupakan hal yang imajinatif untuk dipenuhi.
Menanggapi pernyataan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Bahlil Lahadalia yang mempertanyakan nasionalisme anak muda Indonesia, Heru menerangkan bahwa nasionalisme itu selalu tidak bisa dilepaskan dari relasi antara warga negara dan negara.
“Suatu negara itu hadir karena ada yang menginginkan yaitu warga negara. Warga negara yang tidak dapat hidup untuk mengurus dirinya sendiri kemudian disepakati sebagai kesepakatan bersama, adanya pemerintah,” ujarnya.
Pemerintah, lanjut Heru, adalah gambaran dari negara itu sendiri. Pemerintah mewakili warga negara untuk mengelola hajat orang banyak, karena warga negara tidak bisa mengelolanya.
“Kita (warga negara) berikan legitimasi dalam bentuk kekuasaan. Harapannya kembali dalam bentuk kesejahteraan,” ungkapnya.
Heru menekankan, pada momen seperti ini, bukan saatnya warga negara untuk dipertanyakan nasionalis atau tidak nasionalis. Melainkan penguasa itu harus bercermin apakah pemerintah mengembalikan legitimasi dalam bentuk kesejahteraan.
“Perkataan yang dilayangkan oleh Menteri ESDM itu tidak etis ketika bertanya terkait dengan tagar #KaburAjaDulu itu nasionalis tidak nasionalis. Ini justru bentuk nasionalisme karena salah satu bentuk peran warga negara itu bukan hanya bayar pajak. Peran warga negara itu juga ikut mengkritisi kondisi pemerintahan,” tekannya.
Di sisi lain, Heru berpendapat, bahwa orang yang memviralkan tagar #KaburAjaDulu itu belum tentu mereka berpindah kewarganegaraan. Ada warga negara yang keluar negeri untuk menyambung hidup tetapi tetap memegang passport WNI.
“Dengan berada di luar negeri, besar harapan mereka untuk bisa mendapatkan penghidupan yang lebih baik ketika di tanah air tidak bisa mendapatkannya. Selain itu, dengan tetap memegang paspor Indonesia, artinya mereka masih memiliki nasionalisme,” tandasnya. (SLO)