Polemik Gagasan Prabowo Evakuasi Warga Gaza ke Indonesia, Akademisi UMS Angkat Bicara

Situasi yang saat ini terjadi antara Palestina dan Israel bukanlah sebuah konflik atau perang melainkan penjajahan

16 April 2025, 19:05 WIB

SUKOHARJO, JURNAL HARIANKOTA – Dosen Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn) Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS) Wibowo Heru Prasetiyo, S.Pd., M.Pd., Ph.D., menilai gagasan mengevakuasi warga Gaza Palestina ke Indonesia berpotensi memicu masalah baru perihal suaka.

Dalam keterangannya kepada awak media, ia menegaskan bahwa situasi yang saat ini terjadi antara Palestina dan Israel bukanlah sebuah konflik atau perang melainkan penjajahan.

“Baik dengan menggunakan sudut pandang sebagai seorang muslim atau sebagai Warga Negara Indonesia, maka akan tetap pada satu pemikiran yaitu penjajahan. Dunia internasional pun murka dengan bukti-bukti terjadinya genosida, ethical cleansing, dan apartheid oleh Israel kepada penduduk Palestina,” kata Heru, Rabu (16/4/2025).

Menurutnya, penjajahan Israel terhadap Palestina tidak dimulai dari 7 Oktober 2023 melainkan jauh dari sebelum itu. Penjajahan Israel terhadap Palestina telah dimulai sejak 29 Agustus 1897 yaitu dari Kongres Yahudi yang dipimpin oleh Theodor Herzl yang menginginkan adanya negara Yahudi Raya.

“Dari situ sudah jelas memang niatnya dari awal itu penjajahan,” tandasnya.

Apabila melihat tindakan Israel terhadap Palestina sebagai penjajahan maka hal yang dilakukan oleh Israel saat ini adalah aneksasi wilayah atau pencaplokan wilayah dari sebuah bangsa untuk menjadi wilayahnya dengan cara yang ilegal dengan berbagai motif atau alasan.

Di tengah situasi genting tersebut, Presiden Indonesia Prabowo Subianto mengusulkan untuk mengevakuasi warga Gaza, Palestina ke Indonesia. Informasi yang didapat, sebanyak 1.000 warga yang akan dievakuasi pada gelombang pertama. Mereka bukan untuk menetap melainkan untuk menjalani perawatan.

“Pernyataan evakuasi yang disebut oleh Prabowo Subianto terdengar heroik. Tetapi kita harus lihat ini justru membuat Palestina dan Gaza itu untung atau justru buntung?” tanyanya.

Wacana Prabowo adalah, apabila nanti sudah menerima warga Gaza dan memberikan pengobatan bahkan pendidikan, kemudian akan dikembalikan ke Palestina. Heru berpendapat bahwa Prabowo harus memberi jaminan diplomasi Indonesia memang sangat kuat untuk membawa warga Gaza dan mengembalikannya.

“Ada nggak jaminannya diplomasi kita sehebat itu?” ujar Heru.

Bukti jaminan bahwa Indonesia memiliki diplomasi yang hebat adalah meminta Israel untuk membuka blokade agar bantuan kemanusiaan bisa masuk. Apabila ini bisa dilakukan, Heru meyakini bahwa diplomasi Indonesia kuat dan ide yang disampaikan oleh Prabowo untuk evakuasi warga Gaza bisa dilakukan.

“Tapi kalau sekedar bisa membuat Israel mau untuk membuka blokade dengan diplomasi Indonesia saja tidak mampu, apalagi memasukkan kembali warga Gaza,” tekan Heru.

Ia memandang akan ada satu problem baru apabila evakuasi atau relokasi dilakukan. Apabila relokasi dilakukan, sangat mungkin Indonesia akan menjadi surga bagi pencari suaka sebagaimana kasus Rohingya.

“Pemberian suaka seperti itu justru memantik masalah baru terutama bagi negara yang menampung,” sebutnya.

Terlebih Indonesia belum meratifikasi konvensi tentang pengungsi. Bahkan UNHCR (Komisioner Tinggi Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Pengungsi) saat ini belum memberikan rekomendasi pengungsian tetapi Indonesia malah jumawa bersikap heroik dengan mengusulkan relokasi.

Indonesia yang belum meratifikasi konvensi pengungsi, sangat mungkin menanggung dampak pada suatu saat akan mengalami satu problem baru dengan hadirnya orang-orang Gaza.

Kaprodi PPKn UMS itu juga khawatir bahwa ide relokasi malah menjadi jebakan dalam testing water Amerika Serikat dan sekutu untuk mengosongkan Gaza sehingga bisa menjadi Riviera Timur, yaitu pusat hiburan dan real estate atau properti bagi seluruh dunia.

“Jika ada Riviera Timur, warga seluruh dunia bisa masuk area tersebut dengan mengesampingkan Palestina karena warga Palestina telah direlokasi. Saya agak miris kalau ternyata ini bagian dari lobi politik dan ekonomi supaya ekonomi Indonesia dan Amerika Serikat semakin erat. Mudah-mudahan tidak ke sana,” harapnya.

Menurutnya, terdapat solusi jangka pendek dan solusi jangka panjang yang bisa diusahakan untuk menyelesaikan penjajahan Israel terhadap Palestina.

Solusi jangka pendek adalah Indonesia dengan kemampuan diplomasinya dapat mengajak negara-negara lain terutama negara Arab untuk menekan dilakukannya gencatan senjata yang lebih lama atau permanen supaya bantuan kemanusiaan bisa masuk.

Solusi lain adalah meminta dewan keamanan PBB untuk benar-benar hadir sebagai pihak yang netral dengan tidak memihak Hamas atau memihak Israel. Rekonstruksi dan rehabilitasi yang dilakukan di Gaza itu dilakukan oleh warga Gaza.

“Membangun Gaza itu kontribusi besarnya dunia internasional tetapi dilakukan oleh warga Gaza sendiri karena itu tanah mereka,” jelasnya.

Untuk solusi jangka panjang adalah menjadikan Palestina sebagai negara yang merdeka. Palestina telah menyatakan kemerdekaannya pada tahun 1988. Jika sepakat untuk mendukung Palestina sebagai negara merdeka, Heru mengingatkan agar syarat-syarat kemerdekaan Palestina itu jangan sampai hilang.

“Syarat-syarat kemerdekaannya itu adalah wilayah, penduduk, pemerintahan yang diakui, dan dukungan internasional. Tanahnya jangan sampai itu diserobot Israel. Kita harus cegah. Jangan sampai warganya, penduduknya digantikan penduduk manapun. Penduduknya juga dilindungi di wilayahnya, bukan di luar wilayah (relokasi),” pungkasnya. (Sapto/ SKH)

Berita Lainnya

Berita Terkini