Hal ini semakin nyata dengan peresmian gedung pemerintahan yang dinamai sebagai Gedung Menara Wijaya pada Januari 2024. Tentu dapat diduga, hal ini merupakan cara Wardoyo dan Etik melanggengkan dominasi politiknya.
Pada konteks Pilkada 2024, yang disayangkan adalah overdominasi Etik telah mengorbankan potensi kader PDIP lain seperti Agus Santosa dan Danur Sri Wardhana. Jika ditilik, sejatinya langkah politik Etik adalah langkah yang tidak sejalan dengan semangat PDIP itu sendiri, yang merupakan simbol reformasi, demokrasi, dan perlawanan terhadap otoritarianisme.
Pertanyaannya adalah; cita-cita demokrasi apa yang ingin kita wujudkan dengan pemilihan elektoral pasangan calon tunggal melawan kotak kosong?
Praktik overdominasi politik yang nyata di daerah dinilai akibat lemahnya demokrasi dan lemahnya kesadaran masyarakat untuk bangkit menyuarakan aspirasi politiknya. Overdominasi politik terbukti telah “mematikan langkah” kader-kader potensial yang memiliki integritas di daerah.
Hal ini sejatinya telah dikritik sebagai sisi negatif pelaksanaan otonomi daerah, sebagaimana pernyataan Prof. Ryaas Rasyid, pencetus politik desentralisasi. Kenyataannya, praktik politik di daerah telah menjadikan raja-raja kecil dan gugusan dinasti yang haus kekuasaan.
Semestinya, proses demokrasi elektoral merupakan suatu momentum untuk menjaring ide dan kader-kader politik terbaik sebagai agent of change, sekaligus menjadi momentum untuk meneguhkan kembali tujuan politik sebagai sarana mewujudkan kesejahteraan masyarakat.
Muhaimin Iskandar dalam buku Mandatory Kesejahteraan (2024) menyebut proses demokrasi seharusnya tidak hanya sebatas teknis prosedural semata. Demokrasi perlu dimaknai dalam hubungannya dengan prinsip equal opportunity dan distribusi sumber-sumber ekonomi untuk kesejahteraan.
Sementara, jika melihat proses Pilkada di Sukoharjo tahun 2024 ini, dengan potensi calon tunggal melawan kotak kosong tentu jauh dari prinsip equal opportunity dan konsep politik kesejahteraan. Dampak lanjutannya, masyarakat kehilangan daya kritis dan orientasi untuk menilai kinerja politisi.
Jika kita membaca karya masterpiece Nicolo Machiavelli berjudul The Prince, kita akan menemukan bahwa sejatinya Machiavelli tidak sekedar mengajarkan bagaimana cara mencapai kekuasaan. Sejatinya Machiavelli juga menekankan bahwa seorang pemimpin haruslah selalu bersandar pada virtu atau kebajikan, karena tanpa suatu kebajikan, kekuasaan hanyalah kemenangan kosong belaka yang tidak bermakna. (Argawi Kandito)