JURNAL HARIANKOTA – Menyambut Festival Jambu yang baru kali pertama diselenggarakan, warga Desa Pranan, Polokarto, Sukoharjo, Jawa Tengah (Jateng) menggelar lomba unik balap sepeda onthel di lapangan desa setempat, Sabtu (3/9/2022)
Lomba balap sepeda ini tidak seperti pada umumnya. Setiap sepeda peserta membawa beban muatan didalam keranjang yang diletakan pada bagian belakang sebelah kanan tempat duduk penumpang.
Beban seberat 40 kilogram dengan menempuh rute dua kali keliling lapangan sekira 750 meter diperuntukkan bagi peserta laki-laki, sedangkan untuk peserta perempuan membawa beban seberat 20 kilogram, menempuh satu kali putaran atau sekira 325 meter.
Kampanye Konversi Motor Listrik, Kementerian ESDM Dorong Pertumbuhan Industri Baru
Para peserta mayoritas adalah petani jambu dengan usia rata-rata tidak lagi muda. Mereka berlomba dengan membawa beban di bagian samping sepeda dengan tingkat kesulitan harus bisa menjaga keseimbangan.
Kepala Desa Pranan, Jigong Sarjanto mengatakan, lomba balap sepeda onthel dengan membawa muatan di bagian sisi sebelah kanan sepeda ini baru kali pertama diselenggarakan.
“Lomba balap sepeda onthel ini merupakan Pre Event Festival Jambu Desa Pranan. Sepeda onthel memiliki sejarah tersendiri bagi warga disini, yaitu sebagai sarana membawa jambu hasil panen,” ungkapnya.
Pelat Putih Kendaraan Resmi Berlaku di Sukoharjo, Begini Penjelasan Kapolres
Mayoritas warga Desa Pranan memiliki tanaman pohon jambu air berwarna merah yang sudah terkenal di Solo Raya. Dulu hasil panen jambu dijual keliling menggunakan sepeda dengan keranjang yang letaknya di bagian samping belakang sadel.
“Lomba ini untuk mengenang masa lalu. Karena dulu, sepeda merupakan alat angkut untuk warga yang mayoritas pedagang buah, dan bebannya hanya sebelah. Dan yang memanfaatkan itu hanya warga kami,” katanya.
Lomba dengan merebutkan hadiah total Rp 3 juta, diharapkan dapat menjadi event tahunan untuk memperingati sejarah awal mula warga Desa Pranan berjualan buah jambu hasil panennya.
“Dulu adanya cuma keranjang sebelah saja. Belum ada bronjong seperti saat ini. Sehingga yang mudah-mudah generasi sekarang bisa mengerti, bahwa mereka dulu dibesarkan dengan cara seperti ini,” pungkas Jigong.(Sapto)