MAGELANG, JURNAL HARIANKOTA – Komunitas Ruang Juang Magelang bersama Ratusan pelaku usaha di Borobudur yang tergabung dalam Sentra Kerajinan Makanan Borobudur (SKMB), Magelang berunjukrasa dengan menyuarakan problema diantara Borobudur, Rakyat dan Pemerintah.
Unjuk rasa tersebut dilakukan dalam menanggapi kekecewaan SKMB akibat dampak dari adanya kebijakan untuk merelokasi pedagang kaki lima di Borobudur yang membawa sejumlah masalah bagi masyarakat yang mencari nafkah untuk keluarganya dengan berdagang di Area Candi Borobudur.
Rabu (18/9/2024) pukul 10.00 WIB, Komunitas Ruang Juang Kota Magelang yang membersamai SKMB untuk menyuarakan kekecewaan dengan adanya kebijakan relokasi Pedagang Kaki Lima yang membawa sejumlah masalah bagi pelaku usaha di Area Candi Borobudur memulai aksi unjuk rasa.
Ruang Juang, sebagai komunitas sipil yang fokus menyuarakan dan mengawal berbagai isu kemanusian dan perlawanan kejahatan struktural di daerah dan nasional, memutuskan untuk turut berjuang bersama segenap elemen dalam upaya pemanfaatan dan pengelolaan Borobudur yang berkeadilan dan humanis.
“Teman-teman SKMB memiliki kesamaan nilai semangat dengan teman-teman Ruang Juang Magelang, Ruang Juang Magelang merupakan komunitas yang memiliki basis gerakan untuk mengawal nilai-nilai kemanusiaan, persatuan, keadilan sosial dan semangat anti penindasan.
Sedangkan teman-teman SKMB disini sedang ditindas dan merasakan ketidakadilan, serta hak-hak asasi manusianya sebagaimana yang dijamin konstitusi sedang dirampas. Sehingga sangat wajar jika Ruang Juang Magelang mengawal teman-teman SKMB ini sesuai hati nurani kita”, jelas Enrille Geniosa (Founder Ruang Juang Magelang).
Borobudur telah menjelma menjadi sumber penghidupan, pusat peradaban, induk kultivasi spritual, hingga tempat peribadatan. Faktanya, Borobudur saat ini telah menghidupi lebih dari 2000 pedagang.
Dari setidaknya 2000 PKL yang “dibersihkan” dari Zona Il, tak semuanya telah mendapatkan lapak, sebagai haknya di pasar relokasi. PKL yang akan direlokasi telah dilakukan verifikasi oleh PT. TWC secara individu dan bukan secara keorganisasian paguyubannya.
Namun, yang terjadi ialah PKL yang telah diverifikasi harus bergabung ke dalam forum pedagang tertentu yang dipilih oleh PT. TWC.
Kebijakan ini dinilai melanggar konstitusi karena membatasi kebebasan berserikat dan melanggar hak untuk bebas dari perlakuan diskriminatif sesuai Pasal 28 E ayat (3), dan 28 l ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Di sisi lain, verifikasi yang dilakukan kepada individu tetapi kemudian memilih hanya mengakomodasi satu forum pedagang, dinilai merupakan sebuah bentuk maladministrasi karena melebihi kewenangan PT. TWC dalam hal menentukan forum pedagang terverifikasi yang boleh berjualan dan tidak, hal tersebut tidak sesuai dengan Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2008 tentang Ombudsman Republik Indonesia.(Murwanto Arsyad)