SUKOHARJO, JURNAL HARIANKOTA– Pasca Kejaksaan Agung (Kejagung) menangkap bos PT Sri Rejeki Isman (Sritex), Iwan Setiawan Lukminto dalam kasus dugaan tindak pidana korupsi pemberian kredit bank, Lembaga Penyelamat Aset dan Anggaran Belanja Negara (LAPAAN) RI, mendesak dilakukan penyitaan aset.
“Proses penegakan hukum kasus ini harus berjalan transparan, profesional, dan tidak tebang pilih. Kejagung harus melakukan penyelidikan secara mendalam terhadap semua usaha yang dimiliki Sritex Group,” kata Ketua LAPAAN RI, BRM Kusumo Putro, Kamis (22/5/2025).
Selain empat perusahaan Sritex Group yang sudah dinyatakan pailit dan saat ini dalam penguasaan kurator, masih ada puluhan bisnis lainnya. Tidak hanya perusahan textile dan garmen, namun juga ada usaha perhotelan, gedung olahraga, hingga gedung pertemuan.
“Jumlahnya diatas 20 perusahaan, dan itu semua saat ini masih beroperasi. Apabila dalam penyelidikan nanti ada indikasi menerima kucuran dana kredit dari bank plat merah yang diselewengkan tersangka, maka Kejagung harus berani melakukan penyitaan aset,” ujarnya.
Kusumo juga mendesak Kejagung melakukan penyelidikan lebih dalam untuk mencari kemungkinan adanya pihak-pihak dibelakang Sritex yang memiliki pengaruh atau jabatan tinggi di korporasi besar.
“Siapapun pejabatnya, baik dari perbankan, legislatif, maupun eksekutif yang terindikasi terlibat dalam pengucuran dana kredit ini, atau menerima fee, harus diproses hukum. Kami yakin kasus ini ada peran oknum lain, tidak hanya berhenti pada Iwan Setiawan saja,” sambungnya.
Kusumo pun menaruh harapan besar bahwa dengan terbongkarnya kasus penyelewengan dana kredit ini bisa menjadi pintu masuk untuk membersihkan praktik korupsi di sektor swasta maupun BUMN yang merugikan negara dan masyarakat luas.
“Dalam kasus ini, pemerintah jangan hanya fokus pada pengembalian kerugian negara saja, tapi juga harus berpikir dari sisi kemanusiaan, dimana saat ini ada ribuan eks buruh Sritex yang sudah di PHK belum mendapatkan pesangon dan THR,” ungkapnya.
Menurut Kusumo, Sritex yang saat ini dikuasai oleh kurator setelah dinyatakan pailit dan menutup total operasionalnya, mustahil dapat membayar pesangon dan THR yang menjadi hak mantan buruhnya.
“Dari awal kami sudah menduga tutupnya Sritex sebelum Ramadhan itu ada indikasi menghindari tanggungjawab membayar THR. Termasuk pesangon rasanya juga sulit diberikan. Saat sebelum pailit saja, Sritex sudah terlihat enggan membayar THR dan pesangon, apalagi sekarang Iwan Setiawan sudah ditahan,” jelasnya.
“Dengan kondisi seperti ini, maka kami minta pemerintah juga memberi solusi agar THR dan pesanggon eks buruh Sritex itu dapat diberikan. Termasuk kewajiban -kewajiban Sritex lainnya juga harus diselesaikan,” imbuhnya.
Diketahui Iwan Setiawan ditangkap tim Kejagung di Solo, pada Selasa (20/5/2025) kemarin. Selain Iwan Setiawan juga ada dua pejabat bank plat merah yang ditetapkan Kejagung sebagai tersangka.
Dua pejabat bank dimaksud, adalah Zainuddin Mappa, mantan Direktur Utama PT Bank DKI tahun 2020; dan Dicky Syahbandinata, mantan Pimpinan Divisi Komersial dan Korporasi PT Bank Pembangunan Daerah Jawa Barat dan Banten (BJB) tahun 2020 .
Kejagung menemukan pemberian kredit oleh Bank BJB dan Bank DKI kepada PT Sritex itu dilakukan secara melawan hukum, tanpa analisis yang memadai dan tidak menaati prosedur serta persyaratan yang telah ditetapkan.
Dana kucuran kredit bank yang seharusnya digunakan untuk modal kerja justru disalahgunakan oleh Iwan Setiawan untuk membayar utang dan membeli aset nonproduktif, seperti tanah di Yogyakarta dan Solo.
Para tersangka dijerat dengan Pasal 2 Ayat (1) atau Pasal 3 jo Pasal 18 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Kerugian negara dalam kasus ini sebesar Rp 692.980.592.188. (Sapto/ SKH)