SUKOHARJO, JURNAL HARIANKOTA– Perseteruan antar advokat, Asri Purwanti dan ZM makin memanas pasca munculnya tulisan di sebuah blog website mengulas kasus yang ditangani Asri pada 2013 silam. Tulisan itu dinilai Asri untuk menggiring opini negatif tentang dirinya.
Asri yang juga Ketua DPD KAI Jateng, menilai tulisan web yang tampilannya seperti media online diduga bertujuan menggiring opini negatif masyarakat, sekaligus menakut-nakuti agar perkara ZM yang dilaporkannya ke Polres Sukoharjo atas dugaan pemalsuan dokumen kuliah tidak lanjut.
“Perlu saya klarifikasi, justru dalam kasus 2013 itu, saya merupakan korban yang dijebak dan dikriminalisasi oleh seorang oknum anggota Polsek Kartasura, Polres Sukoharjo,” kata Asri, Selasa (28/1/2025).
Menurutnya, dugaan jebakan ini berawal dari permintaan bantuan hukum oleh seorang perempuan berinisial KS, warga Wonosari, Klaten, pada tahun 2013. KS meminta bantuan Asri untuk mengajukan gugatan cerai terhadap suaminya di Pengadilan Agama (PA) Klaten.
Atas permintaan KS, Asri lantas mendaftarkan gugatan pada, 21 Januari 2013 dengan membayar biaya pengadilan yang dibuktikan melalui Surat Kuasa Untuk Membayar (SKUM). Namun, setelah proses verifikasi data, Asri mendapat informasi dari sesama advokat bahwa dokumen yang diberikan KS tidak valid.
“Saya mendapat informasi bahwa KS sebenarnya sudah bercerai. Selain itu, nama suaminya yang tertulis di Kartu Keluarga (KK) dan akta nikah tidak sama. Bahkan, nama orang tua KS sendiri yang tertulis di KK dan akta juga berbeda,” ungkapnya.
Atas temuan kejanggalan itu, Asri yang menyadari bahwa jika gugatan itu diteruskan justru menjadi blunder, memutuskan mencabut gugatan pada, 6 Februari 2013. Ia juga mengembalikan fee yang telah diterima dari KS setelah dipotong biaya pendaftaran sidang.
Asri mengaku juga menemui perangkat desa sesuai data dalam KTP milik KS, yaitu di Ngregen, Wonosari, Klaten. Dari keterangan perangkat desa diketahui bahwa KS memang benar telah dicerai talak oleh suaminya yang tinggal di Banjarmasin. Bukti akta cerai juga didapat Asri dari perangkat desa.
“Tapi, sekira seminggu setelah gugatan saya cabut, saya dilaporkan ke Polsek Kartasura oleh KS atas dugaan penipuan. Bahkan oleh oknum polisi yang bertugas saat itu, saya langsung ditetapkan sebagai tersangka tanpa proses klarifikasi atau pemeriksaan saksi,” beber Asri.
Tak hanya itu, Asri yang bertempat tinggal di Kartasura, Sukoharjo, mengaku tidak menerima Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP) dari polisi. Prosedur hukum yang dilakukan oleh oknum Kanit saat itu, menurutnya benar-benar menyalahi aturan.
“Dalam perkara itu, saya merasa dikriminalisasi. Maka saya melaporkan oknum polisi itu ke Kapolri melalui Bidpropam Polda Jateng. Yang bersangkutan kemudian dipindahkan ke bagian administrasi karena dinilai pimpinan bekerja tidak sesuai prosedur,” bebernya.
Selain melaporkan oknum polisi, Asri di tahun yang sama juga melaporkan balik KS ke Polsek Wonosari, Polres Klaten, atas dugaan pemalsuan dokumen. Namun karena dinilai tidak cukup bukti, laporan itu terhenti.
“Saya memiliki bukti kuat untuk membantah tuduhan penipuan yang diarahkan oleh pihak ketiga melalui KS. Dari peristiwa itu, saya juga berharap menjadi pembelajaran bagi siapapun, khususnya para advokat agar lebih berhati-hati dalam menangani kasus yang membutuhkan dokumen penting,” jelasnya.
“Untuk aparat kepolisian di Polres Sukoharjo yang saat ini memproses laporan saya, jangan takut dengan tekanan dari pihak manapun. Harus profesional, transparan sesuai prosedur hukum. Saya tak surut langkah atas tulisan fitnah itu,” tegasnya.(SKH)